tugas mengomentari kelompok filsafat sejarah

TUGAS FILSAFAT SEJARAH
MENGOMENTARI KELOMPOK 30

Kelompok 30 mempresentasikan power pointnya sudah cukup baik tetapi belum maksimal. Anggota kelompok kurang menguasai materi yang disajikan sehingga membuat bingung peserta diskusi tetapi setelah dijelaskan dengan ditulis dipapan tulis menjadi lebih jelas . Ada anggota kelompok yang tidak focus sehingga menjadikan suasana kelas tidak kondusif dan bosan dengan presentasinya. Penyajiannya , suaranya kurang keras , dari belakang kelas tidak terdengar penjelasannya. Saat menjawab pertanyaan kurang jelas dan membingungkan. Ada anggota kelompok yang tidak menguasai materi sehingga tidak dapat membantu anggota lain menjawab pertanyaan.
Untuk materinya atau power pointnya terlalu banyak dan bertele – tele. Bahasannya kurang jelas dan singkat. Tampilannya kurang menarik , terlalu banyak kata – kata. Penjelasan tentang CLM terlalu banyak tetapi tidak ada simpulannya dan contoh pembetulan CLM. Penjelasan tentang Hermeneutika tidak diberi contoh , hanya penjelasan. Penjelasannya juga tidak terlalu jelas.
Kondisi kelas sangat tidak kondusif karena suara dari para penyaji kurang keras dan ada anggota kelompok yang tidak menguasai materi yang justru membuat konsentrasi peserta diskusi tidak focus.

Objektifitas Subjektifitas dalam Kajian Sejarah

Sedangkan, Ankersmit dalam bukunya Refleksi tentang Sejarah menjelaskan tentang adanya alasan yang membela subjektifisme dan objektifisme sejarah, yaitu:

  1. Alasan Subjektifisme

(a) Alasan Induksi

Penulisan sejarah selalu bersifat subjektif. Menurut G. Myrdal, bila telaah historis t1, t2, dan seterusnya bersifat subjektif, maka dengan cara induktif dapat disimpulkan bahwa telaah historis, baik masa silam, masa kini, dan masa depan, bersifat subjektif.  Namun, Myrdal menegaskan bahwa sejarawan harus menyadari nilai-nilai dalam penulisannya agar dengan demikian ia dapat mengesampingkan pengaruh nilai-nilai itu dalam penulisannya.

Pendapat ini dilawan oleh Negel, yang mengatakan, bahwa justru nilai-nilai yang mewarnai pandangan seorang sejarawan, tidak disadarinya, lalu bagaimana mungkin mengesampingkannya? Sering kita berpendapat, bahwa pendapat kita mengenani sesuatu itu terbebas dari nilai, padahal justru nilai itu yang dipermasalahkan.

(b) Alasan Relativisme

Untuk mendukung argumen ini, Ch. Beard dan J. Romein membedakan tiga hal, yakni:

(1)             Masa silam sendiri,

(2)             Bekas yang tertinggal dari masa silam, berwujud dokumen,

prasasti dan sebagainya

(3)             Penggambaran kita terhadap masa silam.

Peralihan dari (1) ke (2) sudah menjurus penulisan sejarah. tentu subjektif, karena sumber-sumber yang tersisa dari masa silam pada umumnya merupakan laporan-laporan yang ditulis oleh orang-orang pada zaman dulu. Dan pada peralihan dari (2) ke (3), tidak bisa disingkirkan. Terdapat tiga macam subjektifitas. Pertama, yang merupakan hasil dari kepribadian sejarawan sendiri. Kedua, unsur subjektifitas masih dapat dilacak lalu disingkirkan. Ketiga, subjektifitas waktu tidak dapat dieliminir.

Romein dan E.H. Carr mengatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan tersebut, sejarawan harus mampu untuk mengatasi kerangka zamannya dengan menempatkan diri di masa mendatang, yaitu masyarakat tanpa kelas. Sehingga argumen ini mudah dipatahkan karena asumsi yang menopangnya berpangkal pada filsafat sejarah spekulatif[3] yang dapat disangksikan objektivitasnya. Rupanya Romein tetap mempertahankan konsepnya meskipun hal itu tidak rasional.

(c) Alasan bahasa

Bahwa dalam bahasa sendiri terdapat berbagai ungkapan yang mengandung penilaian, sehingga tulisan yang dihasilkan bisa bersifat subjektif. Namun L. Strauss justru berpendapat bahwa penilaian dan bahasa yang bermuatan penilaian justru penting dalam penulisan sejarah. Karena dengan bahasa yang mengandung penilaian itulah kejadian-kejadian yang “mendebarkan” dapat disusun.

Demikian juga bagi A.R. Louch yang mengatakan bahwa tugas sejarawan adalah membangkitkan kembali masa silam (aktualisasi masa silam). Kata-kata seperti agresif, bersahabat, bermusuhan, dlsb, dapat digunakan sebagai sarana untuk membangun kembali masa silam dalam konteks kekinian. Dengan kata-kata itu, muncul dalam diri kita satu perasaan yang sama dengan perasaan yang muncul dalam diri penulis ketika menuliskannya.

(d) Alasan Idealistis

Sebagaimana argumen dasarnya, bahwa kenyataan itu ada sejauh kita menyadarinya, kenyataan historis pun merupakan buah hasil dari budi manusia. Budi manusia adalah objek penelitian historis sekaligus juga subjek penelitian historis. Karena subjek dan objeknya sama, maka keduanya tidak dapat dipisahkan.

(e) Alasan Marxis

Bagi penganut paham ini, tidak mungkin bisa untuk memisahkan subjek dan objek. Pengetahuan selalu berakar dalam pergaulan kita dengan kenyataan. Kenyataan itu adalah kenyataan yang bereaksi terhadap sentuhan penelitian kita. Kenyataan sosial tidak akan muncul dalam bentuk rumusan sosiologis yang objektif, akan tetapi baru akan muncul ketika telah dirombak oleh seorang revolusioner. Karena objektivitas mengandaikan pemisahan antara subjek dan objek, maka ia tidak akan terjadi.

  1. Alasan Objektivitas

Bagi pendukung argumen ini, perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains hanya bersifat gradual dan tidak esensial, karena objektifitas dalam hasil penelitian sains jarang disangsikan (sifatnya mutlak-pasti), maka cenderung membela kemungkinan penulisan sejarah yang objektif.

(a) Memilih Objek Penelitian

Seorang sejarawan sudah bersifat subjektif ketika memilih objek bagi penelitian sejarahnya, karena pilihan itu ditentukan oleh kesukaan pribadi seorang sejarawan. Dalam memilih bahannya, seorang sejarawan mungkin didorong oleh pertimbangan subjektif, tetapi ini tidak berarti bahwa hasil penelitiannya juga bersifat subjektif, bisa juga bersifat objektif. Objektif dalam artian ini merupakan sebuah kenyataan historis dalam suatu peristiwa sejarah di masa lampau.

(b) “Wertung” dan “Wertbeziehung”

Seorang sejarawan selalu bersifat subjektif karena bahan yang ditelitinya ialah perbuatan manusia pada masa silam, yang selalu diresapi oleh nilai-nilai. Kita perlu membedakan antara wertbeziehung dan wertung. Yang pertama adalah pertalian dengan nilai-nilai, yang terjadi ketika kita menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai yang dianut pada masanya. Sedangkan yang kedua adalah penggambaran sejarawan tentang seorang pelaku sejarah yang sudah diilhami oleh nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu sendiri.

(c) Alasan Seleksi

Mengadakan seleksi berarti mengacaukan jalinan peristiwa yang terjadi dalam sejarah, padahal menurut faham subjektivisme, sejarah adalah ibarat kain tanpa jahitan yang bagian-bagiannya kait mengait. Oleh pendukung objektivisme, argumen ini ditolak karena meskipun penyajian oleh sejarawan tidak lengkap, tidak berarti ia tidak objektif. Sebuah peta tetap objektif meskipun tidak manampilkan hal-hal kecil secara detail. Namun, apakah sejarah sama dengan peta. Peta adalah benda mati yang tidak berubah bagian-bagiannya, sedangkan sejarah terdiri dari bagian-bagian yang saling memengaruhi satu sama lainnya, sifatnya dinamis, sehingga menampilkan salah satu bagian saja tidak akan mungkin menggambarkan kenyataannya yang sesungguhnya.

Adapun alasan subjektivistis yang mengatakan bahwa sejarawan berhenti pada satu titik dalam penelitiannya dan tidak melanjutkan ke titik-titik berikutnya, ditanggapi oleh kalangan objektivis dengan mengatakan bahwa penelusuran sampai masa paling awal tidak perlu, karena, misalnya, untuk mengetahui sebab-sebab Revolusi Perancis (1789) kita tidak harus melacak sebabnya. Sekali lagi, sejarah bukanlah aspek yang statis yang dapat diketahui dengan mudah pangkal dan ujungnya hanya dengan berspekulatif. Pertanyaanya, siapa yang dapat mengetahui dengan pasti bahwa suatu sebab kejadian sejarah berpangkal dari sebuah kejadian tertentu?

(d) Alasan Antiskeptisisme atau Relativisme

Sebenarnya para skeptisisme telah masuk dalam wilayah yang kontradiktif. Secara implisit, mereka masih mempertahankan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, meskipun secara eksplisit menolaknya. Hal itu karena para skeptisis baru dapat mengatakan bahwa sebuah pengetahuan adalah subjektif kalau ia memiliki sandaran untuk mengukur bahwa pengetahuan itu memang subjektif. Dengan demikian, pengetahuan objektif itu tetap diandaikan.

Di samping itu, ia harus dapat membuktikan bahwa nilai-nilai mana yang memengaruhi seorang sejarawan. Dan bila nilai-nilai itu telah disingkirkan, maka objektivitas menjadi mungkin terjadi secara nyata.

Apakah dengan menyingkirkan nilai-nilai yang diketahui itu lantas membuat penelitian sejarah menjadi objektif? Nilai-nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang melingkupi dan melampaui kita karena kita berada di dalamnya, sehingga tidak disadari. Sebagaimana pengertian struktur sebagai sebuah bangunan abstrak, ia hanya bisa dirasakan tanpa bisa dilihat secara fisik atau nyata.

(e) Alasan Sebab Musabab (Kausalitas)

Seorang sejarawan mungkin menggunakan penilaiannya, akan tetapi tidak berarti bahwa pendapat-pendapatnya langsung menunjuk pada benar atau salah. Kalau penilaiannya salah, jelas sejarah menjadi kacau. Dan kalaupun penilaiannya benar, bukankah terdapat banyak aspek dalam sejarah, dimana penilaian sejarawan tersebut sangat mungkin hanyalah salah satunya saja?

(f) Alasan Propaganda

A.I. Melden mengatakan bahwa jika nilai-nilai merupakan unsur pokok dalam pengetahuan historis, maka penulisan sejarah menjadi tidak dapat dibedakan lagi dari propaganda. Keduanya menjadi sama kerena hanya merupakan tindak bahasa yang ingin menyebarkan nilai-nilai tertentu. Padahal propaganda berbeda dengan tulisan sejarah, karena pembaca propaganda tidak terkesan oleh mutu ilmiahnya.

Di samping itu, propaganda bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang yang belum memilikinya. Akan tetapi nilai-nilai dalam sejarah tidak diketahui oleh pembacanya, sehingga pengalihan nilai-nilai itu menjadi tidak mungkin. Dengan kata lain, nilai-nilai yang dianggap sebagai bagian pokok itu hanyalah kesimpulan belaka dalam sebuah penalaran, bukan unsur penting di dalalamnya.

Pada hakekatnya, penulisan sejarah memang tidak berbeda dengan propaganda, hanya saja yang terakhir sudah diketahui bahwa ia memang propaganda sehingga tidak dianggap ilmiah, sedangkan yang pertama, penulisan sejarah, belum diketahui kalau ia adalah propaganda, tetapi sudah diasumsikan begitu saja sebagai sejarah, sehingga dianggap ilmiah.

(g) Alasan Analogi

Pengkajian sejarah sama saja dengan pengetahuan eksakta, yang mungkin untuk mendapatkan objektivitas. Ada tolok ukur tertentu dalam menentukan objektivitas. Padahal dalam ilmu eksakta sendiri objektivitas masih diperdebatkan. Hukum gravitasi Newton, misalnya, dianggap kurang memadai sehingga munculah Einstein dengan hukum relativitasnya.

Menurut saya subyektivitas selalu mempengaruhi dalam penyusunan sejarah.  Hal ini akan terjadi ketika kita berusaha untuk membangun kembali kerangka kerangka dari bukti bukti sejarah tepatnya pada bagian interpretasi. Apa yang kita dapat sebagai bukti bukti sejarah merupakan bukti bukti mentah yang harus kita rangkai kembali suatu peristiwa sejarah tersebut untuk merekonstruksi peristiwa sejarah. Dalam penulisan sejarah kita akan selalu dipengaruhi oleh subyektivitas. Seorang sejarawan selalu menuruti instingnya dan pemikirannya dalam penyusunan sejarah.

Filsafat Sejarah Menurut FR Ankersmit

F.R. Ankersmit (1987) mengemukakan tiga unsure filsafat sejarah, yaitu sejarah penulisan sejarah, filsafat sejarah spekulatif, dan filsafat sejarah kritis. Uraian singkat dari masing-masing unsure adalah sebagai berikut:

1. Sejarah penulisan sejarah (historiografi), adalah bagian atau unsur dari filsafat sejarah yang mempelajari dan mempertanyakan paling tidak tiga hal berikut:

a. Apa yang ditulis oleh berbagai ahli sejarah tersohor atau terkemuka di dunia baik yang dimasa silam maupun di masa kini.
b. Bagaimana cirri karya-karya sejarah mereka pada umumnya, adakah mereka (sejarawan) itu menulis dengan maksud dan tujuan-tujuan tertentu.
c. Dapatkah kita melihat suatu proses evolusi (perubahan) dari abad kea bad dalam cara para ahli (sejarawan) menggambarkan atau menjelaskan masa silam

2. Filsafat sejarah spekulatif adalah bagian dari filsafat sejarah yang mengkaji sejarah sebagai suatu proses. Seorang filsuf sejarah spekulatif memandang arus atau proses sejarah factual dalam keseluruhannya dan berusaha untuk menemukan suatu struktur dasar di dalam proses sejarah itu. Filsafat sejarah spekulatif mencari suatu struktur dalam yang tersembunyi tetapi ada di dalam proses historis yang menjelaskan mengapa sejarah berlangsung demikian. R.Z Leirrisa (1996) mengidentifikasikan filsafat sejarah spekulatif dengan istilah teori sejarah.

3. Filsafat sejarah kritis, adalah salah satu unsur filsafat sejarah yang didasarkan kepada obyek penelitian bagaimana masa silam itu dijelaskan. Seorang filsuf sejarah meneliti sarana-sarana (sepeerti metodologi, pendekatan, metode, prosedur, aturan, kaidah, dan sebagainya) yang digunakan oleh ahli sejarah di dalam menjelaskan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Filsafat sejarah kritis sering pula dinamakan filsafat sejarah analitis. R.Z Leirissa (1996) mengidentifikasikan filsafat kritis dengan istilah metodologi sejarah.

Sedangkan filsafat sejarah formal membahas tentang hakekat sejarah (bukan jalannya peristiwa-peristiwa sejarah) yang dipandang sebagai suatu disiplin atau cabang pengetahuan yang khusus. Filsafat ini berurusan dengan tujuan-tujuan penyelidikan sejaah dan cara-cara sejarawan menggambarkan dan mengklasifikasikan bahan mereka, serta cara mereka sampai kepada penjelasan-penjelasan dan hipotesa-hipotesa, anggapan-anggapan dan prinsip-prinsip yang menggarisbawahi tatacara penyelidikan mereka dan hubungan-hubungan antara sejarah dengan bentuk-bentuk penyelidikan yang lain. Di sini menunjukan bahwa filsafat sejarah formal bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.

Pemikiran Ankersmit merupakan suatu kajian terhadap suatu pengetahuan yang mendalam. Dimana dalam suatu kajian studi,ilmu pengetahuan selalu berpijak atau berasal ketika seorang melakukan perenungan filsafati. Maka saya pun setuju dengan pendapat Ankersmit yang menyatakan bahwa filsafat sejarah tak terpisahkan dengan teori sejarah.

Filsafat Sejarah Spekulatif dan Kritis

  • Filsafat Sejarah Spekulatif

Filsafat sejarah spekulatif adalah bagian dari filsafat sejarah yang mengkaji sejarah sebagai suatu proses. Seorang filsuf sejarah spekulatif memandang arus atau proses sejarah factual dalam keseluruhannya dan berusaha untuk menemukan suatu struktur dasar di dalam proses sejarah itu. Filsafat sejarah spekulatif mencari suatu struktur dalam yang tersembunyi tetapi ada di dalam proses historis yang menjelaskan mengapa sejarah berlangsung demikian. R.Z Leirrisa (1996) mengidentifikasikan filsafat sejarah spekulatif dengan istilah teori sejarah.

  • Filsafat Sejarah Kritis

Filsafat sejarah kritis, adalah salah satu unsur filsafat sejarah yang didasarkan kepada obyek penelitian bagaimana masa silam itu dijelaskan. Seorang filsuf sejarah meneliti sarana-sarana (sepeerti metodologi, pendekatan, metode, prosedur, aturan, kaidah, dan sebagainya) yang digunakan oleh ahli sejarah di dalam menjelaskan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Filsafat sejarah kritis sering pula dinamakan filsafat sejarah analitis. R.Z Leirissa (1996) mengidentifikasikan filsafat kritis dengan istilah metodologi sejarah.

 

Menurut saya filsafat kritis-lah yang harus di utamakan. Dengan kita bersikap kritis terhadap suatu peritiwa sejarah maka kita akan lebih terpacu untuk menganalisis data – data tentang peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah bukan hanya diambil dari garis besar kejadian sejarah,melainkan harus dianalisa dan dikritisasi kebenarannya. Keuntungan lain dengan kita lebih dapat lebih belajar mengenai pandangan – pandangan lain dan membandingkannya. Karena kunci dari Filsafat Sejarah Krtitis ialah perbandingan sumber yang ada.

Pemikiran Tokoh – Tokoh Filsafat Sejarah dan Model CLM

  • Leopold Von Ranke

Leopold Von Ranke (1795-1886), adalah sejarawan Jerman, ia memberikan reaksi terhadap aliran Romantisisme. Bila di zaman romatik penulisan sejarah banyak dihanyutkan oleh perasaan dan dibumbui oleh komentar serta keindahan, maka Leopold Von Ranke tampil mengadakan reaksi menentang Romantisisme dalam sejarah. Leopold Von Ranke mengemukakan bahwa perlu dibuangnya bungkus perasaan dalam sejarah, dengan menulis sejarah seperti kejadian yang sesungguhnya.
Abad kesembilan belas adalah suatu zaman agung bagi fakta, fakta secara keseluruhan dianggap memuaskan. Leopold Von Ranke mengemukakan, bahwa untuk mencapai penulisan sejarah sebagaimana sesungguhnya terjadi itu, diperlukan ke arah mencari kebenaran faktual. Leopold Von Ranke dengan amat yakin bahwa suratan takdir akan menentukan arti sejarah, sekiranya dia mengawasi fakta-faktanya. Untuk mencari kebenaran faktual diperlukan methode yaitu metode kritis. Di dalam metode kritis terdapat langkah-langkah antara lain, kritik ekstern dan intern terhadap sumber, mempunyai sikap kritis dan menggunakan perbandingan sumber. Leopold Von Ranke di dalam penulisan sejarah berusaha untuk dapat seobyektif mungkin, dan yakin bahwa sejarah dapat ditulis secara obyektif. Bertolak dari fakta sejarah dan digarap dengan metode kritis, Leopold Von Ranke yakin dapat menerangkan yang sebenarnya terjadi. Bapak metode sejarah kritis ini mengatakan bahwa ”Sejarah baru mulai apabila dokumen dapat dipahami, lagi pula, cukup banyak dokumen yang dapat dipercaya”. Selain itu ia juga berpendapat ”Fakta tidak perlu diwarnai, dihias, dengan maksud disesuaikan dengan selera atau nilai subjektif tetapi diungkapkan seperti apa adanya, jadi terlepas dari segala kepentingan”(2) . Adanya metode kritis dari Leopold Von Ranke ini, maka sejarah dianggap syah sebagai ilmu sejarah.

  • Georg Wilhelm Friedrich Hegel

Dalam pembahasan tentang dialektika Hegel terhadap filsafat sejarah kali ini, terlebih dahulu kita mengetahui filsafatnya tentang Yang Absolut atau Roh Mutlak, di mana Hegel mengatakan bahwa Yang Absolut adalah totalitas, yaitu seluruh kenyataan. Seluruh kenyataan ini dipahami Hegel sebagai suatu “proses menjadi”. Namun, Hegel tidak hanya menggambarkan pada suatu proses saja, melainkan apa yang menjadi tujuan dalam proses itu sendiri. Kemudian Hegel memahami Yang Absolut adalah sebagai subjek, di mana objeknya adalah dirinya sendiri. Sehingga Hegel membuat pernyataan bahwa Yang Absolut adalah subjek yang memikirkan dirinya sendiri atau pikiran yang memikirkan dirinya sendiri. Dengan kata lain, Hegel mengartikan Yang Absolut adalah Roh Mutlak.

Hegel juga mengatakan bahwa segala sesuatu atau fenomena dipahami sebagai aktivitas Roh, karena segala apapun ada dalam Roh. Dalam dunia Roh-lah yang menjadikan sejarah universal berada di dalamnya. Di mana secara umum kita mengetahui bahwa dunia tidak hanya mencakup pada alam fisik saja melainkan juga pada alam psikis. Akan tetapi dunia Roh di sini memiliki peran dalam metode perkembangannya yang merupakan salah satu tujuan substansial manusia.

Ini merupakan kunci penting pandangan Hegel tentang sejarah yang pandangannya berkaitan dengan Roh. Di mana secara substansi, hakikat Roh adalah kebebasan, karena semua kualitas yang ada pada Roh terletak dalam kebebasan dan kebebasanlah satu-satunya kebenaran Roh. Dalam filsafatnya, Hegel membagi Roh dalam dua bagian, yaitu Roh Subjektif dan Roh Objektif. Roh Subyektif memiliki tiga macam tahap peralihan dari alam kepada Roh, yaitu jiwa manusia yang merupakan tahap terendah yang dipahami sebagai subjek yang menginderai, tahap kedua adalah kesadaran diri, dan ketiga pikiran subjektif. Sedangkan Roh Objektif adalah Roh yang mengobjektivikasi diri dalam kehidupan sosial.

Dari sinilah sejarah dimasukkan ke dalamnya dan sejarah pun termasuk ke dalam Roh Objektif, seperti filsafat politik atau hukum. Kemudian Roh dikaitkan lagi dengan dialektika yang dipaparkan Hegel, di mana dalam dialektika Hegel dijelaskan bahwa proses dialektika mempunyai tiga fase, yaitu thesis, anti-thesis, dan sintesis.

Pemikiran Hegel yang senantiasa berdialektika terhadap realitas dan memandang adanya “realitas mutlak” atau Roh Mutlak atau idealisme mutlak dalam kehidupan, sangatlah mempengaruhi dalam memandang sejarah secara global, ini terbukti saat dialektikanya mampu memasukkan pertentangan di dalam sejarah sehingga dapat mengalahkan dalil-dalil yang bersifat statis. Bahkan hingga terbukti pembuktian- pembuktian ilmiah yang dihasilkan. Dari sanalah filsafat sejarah layak ditempatkan, sebagai bagian yang utuh dari dunia kefilsafatan.

Karena proses dialektika menuju Roh Yang Mutlak inilah yang kemudian memberikan dasar bagi filsafat Hegel mengenai sejarah. Baginya sejarah adalah proses realisasi Idea yang Mutlak. Pada mulanya, Ruh Absolut ini menampakkan dirinya pada dunia melalui bentuknya yang paling sederhana. Tetapi melalui proses dialektik, Ruh ini, yang menjadi determinan gerak laju sejarah, menjadi semakin kompleks dan akhirnya menampakkan dirinya sebagai Idea Yang Mutlak, yang tidak ada sesuatu selain dirinya sendiri.

Hegel juga memandang bahwa sejarah merupakan suatu kondisi perubahan atas realitas yang terjadi, dia pula yang menyatakan sejarah menjadi sebuah hasil dari dialektika, menuju suatu kondisi yang sepenuhnya rasional. Menurutnya dialektika merupakan proses restorasi yang perkembangannya berasal dari kesadaran diri, yang akhirnya akan mencapai kesatuan dan kebebasan yang berasal dari pengetahuan diri yang sempurna, dia pula merupakan suatu aktvitas peningkatan kesadaran diri atas pikiran yang menempatkan objek-objek yang nampak independen ke arah rasional, yang kemudian diadopsi Marx menjadi bentuk lain yakni “alienasi”.

  • R. G. Collingwood

R.G. Collingwood adalah seorang ahli filsafat terkemuka, terutama dalam bidang filsafat sejarah. Pada masa hayatnya dia adalah Guru Besar dalam bidang Filsafat Metafisika yang dijabatnya dari tahun 1935 sampai dengan tahun 1941 di Universitas Oxford Inggris. Namun pada masa hidupnya dia tidak begitu dikenal, tetapi setelah meninggal tahun 1943, barulah para ahli sejarah mengakui kehebatannya di dalam bidang sejarah dan mereka merasa berhutang budi kepadanya. Tulisan-tulisannya yang berupa makalah-makalah yang disampaikannya di dalam ceramah-ceramah, diterbitkan secara anumerta sehingga para ahli menamakan bukunya ini sebagai “one of the great voices of our time” sebagai satu pemikiran besar pada masa sekarang ini. Collingwood menganggap ide modern terhadap sejarah dimulai pada masa Herodotus sampai kepada masa sekarang ini. Baginya sejarah bukanlah apa yang dapat dibaca dari buku-buku dan dokumen-dokumen, karena itu hanya merupakan keinginan dari orang sekarang. Dalam pemikiran ahli sejarah adalah apabila dia memberikan kritik dan interpretasi dokumen-dokumen itu, yang dengan demikian memberikan bayangan baginya mengenai ciri-ciri dari pemikiran-pemikiran yang diselidikinya.

Secara singkat pandangan Collingwood mengenai masalah filsafat sejarah, pada dibagi kepada dua:

1. Mengenai ide modern yang berkembang semenjak Herodotus sampai abad ke 20.
2. Gambaran-gambaran filsafat mengenai sifat, isi dan metode sejarah.

  • Model CLM

model CLM (Cover Law Model). Model ini diperkenalkan oleh David Hume, seorang filosof dari Skotlandia (1712-1776). Model ini sebagai bentuk pengembangan metode penilitian imiah. Pada era abad 18-an diharuskan seluruh penilitian menggunakan pedoman eksata yang diwajibkan untuk membuat sebuah hukum atau teori sejarah. CLM disini mengenalkan sebuah hukum dalam pola suatu peristiwa sejarah. Berikut rumus dari CLM :

(1) C1 (C2, C3, …) E
(2) C1 (C2, C3, …)
(3) E
sehingga hukum tersebut menjadi patokan formal dalam menerangkan peristiwa sejarah. Adapun keterangan dari rumus diatas apabila dijadikan sebuah premis yaitu ;
(1) C1 (C2, C3, …) E ,Terdapat pola-pola C1 (C2, C3, …)yang dapat mendorong terjadinya suatu peristwa E.
(2) C1 (C2, C3, …) , Bila terdapat pola-pola yang sama maka dapat diperkirakan hasil dari kejadian yaitu
(3) E , Peristiwa E .
Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan apabila terdapat ciri-ciri atau pola-pola sama dengan masa silam dapat memicu terjadinya peristiwa yang sama seperti masa lampau di masa sekarang.
Meski CLM dijadikan hukum secara umum dalam menerangkan peristiwa sejarah, namun model ini terdapat beberapa kekurangan sehingga dalam buku Anker Smith menyebutkan banyak dari kalangan filosof sejarah mengkritik model tersebut. Diantara para filosof yaitu W.H. Dray yang secara mati-matian menyerang CLM. Kekurangan dari model ini antara lain;(1) Jarak antara eksplanans dan ekplanandumnya. (2) Keberatan terhadap pola hukum probabilitas. (3) Sifat formal dari CLM.

Menurut saya teori yang paling dapat untuk dipertanggungjawabkan adalah teori Leopold von Ranke. Von ranke, yang mengembangkan penulisan sejarah dengan metode modern. Yaitu tidak hanya dengan memaparkan bukti bukti sejarah secara mentah akan tetapi juga memaparkan pendapat kita sebagai penulis sejarah. Hal ini membuktikan bahwa dalam mengungkap suatu peristiwa sejarah kita tidak mungkin mengungkap suatu kejadian sejarah hanya dengan bukti mentah tanpa menganalisis kebenarannya dan menarik suatu hubungan antara bukti sejarah satu dengan yang lainnya. Salah satu cara untuk membuktikan pendapat ini adalah dengan ilmu bantu yang lain,hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi kejadian yang sebenarnya.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.