Sedangkan, Ankersmit dalam bukunya Refleksi tentang Sejarah menjelaskan tentang adanya alasan yang membela subjektifisme dan objektifisme sejarah, yaitu:
- Alasan Subjektifisme
(a) Alasan Induksi
Penulisan sejarah selalu bersifat subjektif. Menurut G. Myrdal, bila telaah historis t1, t2, dan seterusnya bersifat subjektif, maka dengan cara induktif dapat disimpulkan bahwa telaah historis, baik masa silam, masa kini, dan masa depan, bersifat subjektif. Namun, Myrdal menegaskan bahwa sejarawan harus menyadari nilai-nilai dalam penulisannya agar dengan demikian ia dapat mengesampingkan pengaruh nilai-nilai itu dalam penulisannya.
Pendapat ini dilawan oleh Negel, yang mengatakan, bahwa justru nilai-nilai yang mewarnai pandangan seorang sejarawan, tidak disadarinya, lalu bagaimana mungkin mengesampingkannya? Sering kita berpendapat, bahwa pendapat kita mengenani sesuatu itu terbebas dari nilai, padahal justru nilai itu yang dipermasalahkan.
(b) Alasan Relativisme
Untuk mendukung argumen ini, Ch. Beard dan J. Romein membedakan tiga hal, yakni:
(1) Masa silam sendiri,
(2) Bekas yang tertinggal dari masa silam, berwujud dokumen,
prasasti dan sebagainya
(3) Penggambaran kita terhadap masa silam.
Peralihan dari (1) ke (2) sudah menjurus penulisan sejarah. tentu subjektif, karena sumber-sumber yang tersisa dari masa silam pada umumnya merupakan laporan-laporan yang ditulis oleh orang-orang pada zaman dulu. Dan pada peralihan dari (2) ke (3), tidak bisa disingkirkan. Terdapat tiga macam subjektifitas. Pertama, yang merupakan hasil dari kepribadian sejarawan sendiri. Kedua, unsur subjektifitas masih dapat dilacak lalu disingkirkan. Ketiga, subjektifitas waktu tidak dapat dieliminir.
Romein dan E.H. Carr mengatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan tersebut, sejarawan harus mampu untuk mengatasi kerangka zamannya dengan menempatkan diri di masa mendatang, yaitu masyarakat tanpa kelas. Sehingga argumen ini mudah dipatahkan karena asumsi yang menopangnya berpangkal pada filsafat sejarah spekulatif[3] yang dapat disangksikan objektivitasnya. Rupanya Romein tetap mempertahankan konsepnya meskipun hal itu tidak rasional.
(c) Alasan bahasa
Bahwa dalam bahasa sendiri terdapat berbagai ungkapan yang mengandung penilaian, sehingga tulisan yang dihasilkan bisa bersifat subjektif. Namun L. Strauss justru berpendapat bahwa penilaian dan bahasa yang bermuatan penilaian justru penting dalam penulisan sejarah. Karena dengan bahasa yang mengandung penilaian itulah kejadian-kejadian yang “mendebarkan” dapat disusun.
Demikian juga bagi A.R. Louch yang mengatakan bahwa tugas sejarawan adalah membangkitkan kembali masa silam (aktualisasi masa silam). Kata-kata seperti agresif, bersahabat, bermusuhan, dlsb, dapat digunakan sebagai sarana untuk membangun kembali masa silam dalam konteks kekinian. Dengan kata-kata itu, muncul dalam diri kita satu perasaan yang sama dengan perasaan yang muncul dalam diri penulis ketika menuliskannya.
(d) Alasan Idealistis
Sebagaimana argumen dasarnya, bahwa kenyataan itu ada sejauh kita menyadarinya, kenyataan historis pun merupakan buah hasil dari budi manusia. Budi manusia adalah objek penelitian historis sekaligus juga subjek penelitian historis. Karena subjek dan objeknya sama, maka keduanya tidak dapat dipisahkan.
(e) Alasan Marxis
Bagi penganut paham ini, tidak mungkin bisa untuk memisahkan subjek dan objek. Pengetahuan selalu berakar dalam pergaulan kita dengan kenyataan. Kenyataan itu adalah kenyataan yang bereaksi terhadap sentuhan penelitian kita. Kenyataan sosial tidak akan muncul dalam bentuk rumusan sosiologis yang objektif, akan tetapi baru akan muncul ketika telah dirombak oleh seorang revolusioner. Karena objektivitas mengandaikan pemisahan antara subjek dan objek, maka ia tidak akan terjadi.
- Alasan Objektivitas
Bagi pendukung argumen ini, perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains hanya bersifat gradual dan tidak esensial, karena objektifitas dalam hasil penelitian sains jarang disangsikan (sifatnya mutlak-pasti), maka cenderung membela kemungkinan penulisan sejarah yang objektif.
(a) Memilih Objek Penelitian
Seorang sejarawan sudah bersifat subjektif ketika memilih objek bagi penelitian sejarahnya, karena pilihan itu ditentukan oleh kesukaan pribadi seorang sejarawan. Dalam memilih bahannya, seorang sejarawan mungkin didorong oleh pertimbangan subjektif, tetapi ini tidak berarti bahwa hasil penelitiannya juga bersifat subjektif, bisa juga bersifat objektif. Objektif dalam artian ini merupakan sebuah kenyataan historis dalam suatu peristiwa sejarah di masa lampau.
(b) “Wertung” dan “Wertbeziehung”
Seorang sejarawan selalu bersifat subjektif karena bahan yang ditelitinya ialah perbuatan manusia pada masa silam, yang selalu diresapi oleh nilai-nilai. Kita perlu membedakan antara wertbeziehung dan wertung. Yang pertama adalah pertalian dengan nilai-nilai, yang terjadi ketika kita menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai yang dianut pada masanya. Sedangkan yang kedua adalah penggambaran sejarawan tentang seorang pelaku sejarah yang sudah diilhami oleh nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu sendiri.
(c) Alasan Seleksi
Mengadakan seleksi berarti mengacaukan jalinan peristiwa yang terjadi dalam sejarah, padahal menurut faham subjektivisme, sejarah adalah ibarat kain tanpa jahitan yang bagian-bagiannya kait mengait. Oleh pendukung objektivisme, argumen ini ditolak karena meskipun penyajian oleh sejarawan tidak lengkap, tidak berarti ia tidak objektif. Sebuah peta tetap objektif meskipun tidak manampilkan hal-hal kecil secara detail. Namun, apakah sejarah sama dengan peta. Peta adalah benda mati yang tidak berubah bagian-bagiannya, sedangkan sejarah terdiri dari bagian-bagian yang saling memengaruhi satu sama lainnya, sifatnya dinamis, sehingga menampilkan salah satu bagian saja tidak akan mungkin menggambarkan kenyataannya yang sesungguhnya.
Adapun alasan subjektivistis yang mengatakan bahwa sejarawan berhenti pada satu titik dalam penelitiannya dan tidak melanjutkan ke titik-titik berikutnya, ditanggapi oleh kalangan objektivis dengan mengatakan bahwa penelusuran sampai masa paling awal tidak perlu, karena, misalnya, untuk mengetahui sebab-sebab Revolusi Perancis (1789) kita tidak harus melacak sebabnya. Sekali lagi, sejarah bukanlah aspek yang statis yang dapat diketahui dengan mudah pangkal dan ujungnya hanya dengan berspekulatif. Pertanyaanya, siapa yang dapat mengetahui dengan pasti bahwa suatu sebab kejadian sejarah berpangkal dari sebuah kejadian tertentu?
(d) Alasan Antiskeptisisme atau Relativisme
Sebenarnya para skeptisisme telah masuk dalam wilayah yang kontradiktif. Secara implisit, mereka masih mempertahankan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, meskipun secara eksplisit menolaknya. Hal itu karena para skeptisis baru dapat mengatakan bahwa sebuah pengetahuan adalah subjektif kalau ia memiliki sandaran untuk mengukur bahwa pengetahuan itu memang subjektif. Dengan demikian, pengetahuan objektif itu tetap diandaikan.
Di samping itu, ia harus dapat membuktikan bahwa nilai-nilai mana yang memengaruhi seorang sejarawan. Dan bila nilai-nilai itu telah disingkirkan, maka objektivitas menjadi mungkin terjadi secara nyata.
Apakah dengan menyingkirkan nilai-nilai yang diketahui itu lantas membuat penelitian sejarah menjadi objektif? Nilai-nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang melingkupi dan melampaui kita karena kita berada di dalamnya, sehingga tidak disadari. Sebagaimana pengertian struktur sebagai sebuah bangunan abstrak, ia hanya bisa dirasakan tanpa bisa dilihat secara fisik atau nyata.
(e) Alasan Sebab Musabab (Kausalitas)
Seorang sejarawan mungkin menggunakan penilaiannya, akan tetapi tidak berarti bahwa pendapat-pendapatnya langsung menunjuk pada benar atau salah. Kalau penilaiannya salah, jelas sejarah menjadi kacau. Dan kalaupun penilaiannya benar, bukankah terdapat banyak aspek dalam sejarah, dimana penilaian sejarawan tersebut sangat mungkin hanyalah salah satunya saja?
(f) Alasan Propaganda
A.I. Melden mengatakan bahwa jika nilai-nilai merupakan unsur pokok dalam pengetahuan historis, maka penulisan sejarah menjadi tidak dapat dibedakan lagi dari propaganda. Keduanya menjadi sama kerena hanya merupakan tindak bahasa yang ingin menyebarkan nilai-nilai tertentu. Padahal propaganda berbeda dengan tulisan sejarah, karena pembaca propaganda tidak terkesan oleh mutu ilmiahnya.
Di samping itu, propaganda bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang yang belum memilikinya. Akan tetapi nilai-nilai dalam sejarah tidak diketahui oleh pembacanya, sehingga pengalihan nilai-nilai itu menjadi tidak mungkin. Dengan kata lain, nilai-nilai yang dianggap sebagai bagian pokok itu hanyalah kesimpulan belaka dalam sebuah penalaran, bukan unsur penting di dalalamnya.
Pada hakekatnya, penulisan sejarah memang tidak berbeda dengan propaganda, hanya saja yang terakhir sudah diketahui bahwa ia memang propaganda sehingga tidak dianggap ilmiah, sedangkan yang pertama, penulisan sejarah, belum diketahui kalau ia adalah propaganda, tetapi sudah diasumsikan begitu saja sebagai sejarah, sehingga dianggap ilmiah.
(g) Alasan Analogi
Pengkajian sejarah sama saja dengan pengetahuan eksakta, yang mungkin untuk mendapatkan objektivitas. Ada tolok ukur tertentu dalam menentukan objektivitas. Padahal dalam ilmu eksakta sendiri objektivitas masih diperdebatkan. Hukum gravitasi Newton, misalnya, dianggap kurang memadai sehingga munculah Einstein dengan hukum relativitasnya.
Menurut saya subyektivitas selalu mempengaruhi dalam penyusunan sejarah. Hal ini akan terjadi ketika kita berusaha untuk membangun kembali kerangka kerangka dari bukti bukti sejarah tepatnya pada bagian interpretasi. Apa yang kita dapat sebagai bukti bukti sejarah merupakan bukti bukti mentah yang harus kita rangkai kembali suatu peristiwa sejarah tersebut untuk merekonstruksi peristiwa sejarah. Dalam penulisan sejarah kita akan selalu dipengaruhi oleh subyektivitas. Seorang sejarawan selalu menuruti instingnya dan pemikirannya dalam penyusunan sejarah.